Thursday, December 22, 2016

Pengalaman Bersama Nyonya

Pengalaman Bersama Nyonya
Terus terang, semuanya terjadi secara tidak sengaja. Pada waktu itu aku membeli buku tentang indera ke-enam atau “bawah sadar”, tadinya sekedar iseng waktu berada di suatu toko buku. Inti buku itu mengajarkan begini. Kalau kita menginginkan sesuatu maka kita harus mencoba menvisualisasikannya..
Suatu saat apa yang kita visualisasikan itu akan terjadi, akan terlaksana. Mimpi? Bukan. Sebab untuk mencapai indera ke-enam seseorang justru tidak boleh tertidur, tetapi perlu menurunkan gelombang listrik di-otaknya dari gelombang beta menjadi alfa. Caranya? Gampang sekali..

Kita cukup memejamkan mata, membayangkan menuruni tangga spiral dengan minimal 10 gigi. Saat anda membayangkan ini, gelombang listrik di otak anda akan menurun frekuensinga dari 13 cycle atau lebih perdetik, menjadi 8-13 cycle per detik. Kelihatannya mudah tetapi butuh latihan, jadinya ya sukar.. He. He.. Nah di saat itulah kita memasuki bawah sadar (unconsciousness)
Apa keinginnan saya? Lha ini yang kurang ajar. Aku ingin nangkring di tubuh Nyonya Elis (waktu muda panggilannya Neng Elis). Nyonya Elis adalah ibu kostku. Kenapa Nyonya? Pertama, kemungkinan hamil nol persen. Pada usia 48 tahun biasanya wanita sudah masuk masa menopause. Yang kedua, ditanggung bersih, sehat tak mungkin kena penyakit “kotor” seperti gonorrhoe, syphilis, HIV dsb. Yang ketiga, gratis tidak perlu bayar, karena sama-sama menikmati. Untuk wanita, bersebadan dengan orang usia lebih muda akan menambah hormon estrogen, hormon khas wanita. Kalau wanita kekurangan hormon ini akan menderita osteoporosis, yaitu tulang menjadi rapuh, mudah patah.
Meskipun sudah kepala empat, tapi jangan meremehkan kecantikannya. Wajah Nyonya masih terlihat ayu. Kulit kuning langsat, tubuh langsing semampai. Secara legendaris, wanita sunda sangat rajin memelihara wajah dan tubuhnya. Mandi lulur sudah seperti prosedur tetap mingguan. Membedaki wajah dengan berbagai ramuan menjadi rutinitas harian. Itu sebabnya tidak hanya wajah dan tubuhnya yang mengesankan. Bau badannya juga sedap dengan aroma lembut. Lalu kalau mau tahu seperti siapa? Seperti siapa ya..? Nah kira-kira seperti itu.. Diana Lorenza, janda beranak satu dari Heru Kusuma.
Sudah tiga tahun aku tinggal di kost milik keluarga Padmadireja (suami Nyonya Elis), pensiunan wedana di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Keluarga Pak Padma-Nyonya Elis ini mempuNyonya putera dua orang, semua sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta. Tinggalah Bapak?Ibu semang kostku ini dibantu seorang PRT dan seorang supir. Semua karyawan ini pulang sore.
Sudah seminggu aku latihan meditasi, belum ada hasil. Tambah tiga hari lagi, meskipun hampir putus asa. Tiba-tiba.., pada hari ke sebelas..
Malam itu sudah pukul 10, pintu kamarku diketuk orang.
“Mas Agus.. Mas Agus”
“Ya.. Nyonya”
“Tolong kerokin ibu sebentar ya..”
Pucuk dicinta, ulam tiba, burung dahaga, apem menganga.., hatiku berjingkrak bukan main.

“Sebentar Bu, saya ganti pakaian dulu”
Kamar-kamar yang dipakai kost letaknya di belakang rumah utama, dipisahkan oleh satu kebun kecil. Ada enam kamar, membentuk huruf U mengelilingi kebun. Masing-masing kamar berpenghuni satu orang. Kebetulan waktu itu masa liburan, namun karena aku harus mengejar “deadline” penyelesaian skripsi, terpaksa aku tidak dapat mudik. Hiya khan, masak sudah jadi mahasiswa PTN terkenal seantero dunia rela di-DO.
Singkat cerita aku sudah duduk di tepi tempat tidur di kamar Nyonya. Duduk dengan bersimpuh, ya.. seperti “pengerok” professional itu. Badan Nyonya dalam posisi tengkurap di depan saya. Punggungnya yang putih, mulus tanpa penutup apapun. Hanya tali BH sudah dilepas, tetapi buah dadanya masih sedikit terlihat, tergencet di bawahnya.. Leher Nyonya terlihat jenjang, putih, dengan rambut yang panjang sampai ke pinggang, disibakkan ke samping. Punggung ke bawah ada sejenis kain sarung yang diikatkan sekenanya secara longgar. Ke bawah, kain itu hanya menutupi sampai lipatan lutut. Di bawahnya betis yang halus, kencang.
Wajah Nyonya menghadap ke samping di mana saya duduk. Sesekali meraba lutut saya, entah apa maksudnya. Pemandangan ini mampu dan makin mengeraskan burungku yang sejak dari kamar tidurku mulai melongok, eh.. bangun menggeliat (Jawa: ngaceng). Dalam waktu 15 menit seluruh punggung Nyonya sudah aku keroki. Suasana sekitar kamar hening, hanya degub jantungku yang makin mengeras.
Burungku, pelan tapi pasti makin menegang juga. Aku diam, Nyonya juga demikian. Mau ngomong apa aku? Bicara tentang Pak Padma..? Ah sama aja bicara tentang kompetitor. Toh malam ini aku yang akan menjadi
“Mas Padma”, akan menumbuk padi di lumbung Nyonya. Mau ngomong anak-anak Nyonya? Yang akan ditengok Pak Padma yang sore tadi berangkat? Ngapain toh sebentar lagi aku akan menganggap Nyonya ini ibarat pacarku.
“Pinggangnya juga ya Mas..”
“Ya.. Ya.. Bu..”, jawabku seperti terbangun dari lamunan berahi.
Aku tarik kain yang menutupi pinggang Nyonya. Ya ampun.. Rupanya Nyonya sudah melepas celana dalamnya. Kini di depan mataku ada pemandangan yang.. Waduh.. Ada gambaran parit sempit di tengah tulang pinggang memanjang ke bawah.. Terus.. Ke bawah, berujung di satu celah sempit di antara dua bukit pantat yang putih padat.. Menggemaskan.. Aku bayangkan.. Apa yang ada di depan pantat itu..
Tiba-tiba Nyonya membalikkan badannya..
“Depan ya Mas..”
Dengan mata terbelalak kaget, kini aku melihat pemandangan yang luar biasa, yang belum pernah kulihat selama 24 tahun berada di kolong langit. Seorang wanita dengan kulit langsat telanjang bulat, dengan lingkaran perut pinggang ramping, buah dada masih lumayan besar, meskipun sudah rebah ke samping. Di tengan buah dada yang ber “pola” tempurung, terlihat puting besar warna hitam dikelilingi area hitam kecoklatan.. Di bawah pusar ada rambut yang mula-mula jarang tetapi semakin ke bawah semakin lebat, sepeti gambaran menara “Eiffel” dengan ujung runcingnya menuju pusar..
Di pangkal tumbuhnya rambut terdapat gundukan kemaluan yang pinggir kiri dan kanannya tumbuh rambut, bak gambaran hutan kecil.. Ampun mana tahan.. Mau pecah rasanya kemaluanku menahan tekanan akumulasi cairan di pembuluh darah kemaluanku.
“Nyonya Aku nggak tahan lihat begini..?”
“Maksudnya, Mas Agus sudah capai..?”
“Enggak Nyonya.. Burung saya sudah.. Nggak bisa.. Nggak bisa.. Saya nggak tahan lagi..!”
“Lho, kok baru bilang sekarang.. Ayo naik..”, sambil berkata demikian tangan kanannya melambai, mempersilakanku menaiki perutnya..
Seperti kucing kelaparan, aku segera mengangkangi perut Nyonya, aku mau mencium pipinya, lehernya, mau melumat bibirnya. Tetapi gerakanku membungkuk terganjal burungku yang keras dan sakit waktu tertekuk. Malah ketika kupaksakan dan terus tertindih perutku, pertahanan katupnya jebol. Karena tiba-tiba.., crut.. crut.. crut.. Dari burungku tersembur, memancar air mani, yang disertai rasa nikmat. Ejakulasi!! Semburan air maniku mengenai dada Nyonya, leher dan perutnya.
Setelah menyembur, burungku sedikit kendur, aku peluk leher Nyonya, aku kulum dengan berapi-api bibirnya. Rupanya Nyonya merespons dengan penuh gairah juga. Aku gigit dengan lembut bibirnya, sesekali aku sedot lidahnya. Lima menit lamanya, baru aku tersadar.
“Maaf Nyonya, air mani saya tadi..”
“Ah, nggak apa-apa, itu tandanya Mas Agus masih “jejaka ting-ting”, nanti sebentar juga bangun lagi.”, sambil berkata demikian, Nyonya mencium lagi bibirku. Tentu saja aku membalasnya dengan lebih bernafsu.
Kecuali bibirku melumat bibir Nyonya, tanganku juga meraba buah dada Nyonya. Memang sudah tidak gempal, tapi masih “berisi” 80 persen. Kedua tanganku masing-masing meraba, memeras-meras, memilin-milin puting Nyonya. Kadang saking gemasnya cengkeraman tanganku ke buah dadanya agak keras, menyebabkan Nyonya meringis menggeliat. Begitu juga bila puting Nyonya aku pilin agak kuat, Nyonya bereaksi..
“Enak, enak.. Tapi sakit Mas.. Jangan keras-keras.. Yang (maksudnya Sayang)..”
Tanpa terasa saat aku menggulati tubuh Nyonya, mendekami dada, perut, menekan kemaluan Nyonya dengan kemaluanku, terasa burungku mulai menggeliat lagi. Makin lama makin keras.
“Nyonya.. Burung saya.. Nyonya mau.. Lagi..?”
“Nah, apa khan.. saya bilang, ayo.. lagi, tapi ‘ntar.. Yang, aku bersihkan badanku dulu ya.. ya..”
Nyonya masuk ke kamar mandi dalam di ruang tidur. Keluar dari kamar rambutnya terlihat sedikit basah, sebagian terjurai di lengan. Ya.. Tuhan.. Cantik sekali dewi ini..
Aku pun juga masuk juga ke kamar mandi, membersihkan bagian badan yang terkena air mani. Keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang bulat, terlihat burungku tegak, keras mendongak ke atas membentuk sudut 45 derajat dengan garis horizontal. Batangnya besar, warna kehitaman dengan tonjolan pembuluh darah membujur, sebagian melintang. Seperti tongkat ukiran. Ujungnya, gland kemaluan, besar, kemerahan, membentuk topi baja yang mengkilat. Antara gland kemaluan dan batang terlihat leher kemaluan yang dangkal. Rasanya aku mau berkelahi dengan membawa senjata golok.
Waktu Nyonya melihat aku dan memperhatikan kemaluanku..
“Hei.. Gede buanget.. Hebat buanget.. Pasti nikmat buanget..” Aku menyahuti tiruan iklan itu, dengan meletakkan ibu jari tangan kananku di depan bibirku..
“Sssstt..” Tentu saja Nyonya senyum atas jawaban spontanku.
Langsung akau naiki perut Nyonya. Dengan lutut menahan badan, aku sedikit menunduk, memegang kemaluanku. Segera kumasukkan ke liang kemaluan Nyonya. Aku takut kalau nanti terlambat masuk ke kemaluan, maninya tersembur lagi keluar. Nyonya maklum juga kelihatannya. Kupegang kemaluanku, kepalanya kuhadapkan di depan kemaluan Nyonya, lalu kudorong masuk. Bless.. Lega sekali rasanya. Kalau nanti muncrat, ada di dalam liang kemaluan Nyonya..
Lalu aku rebahkan tubuhku ke depan dengan bertumpu pada kedua sikuku. Bertemulah dadaku dengan buah dada Nyonya, bibirku dengan bibir Nyonya. Kedua tanganku memegang pipi Nyonya, Nyonya kucium mesra, lalu kucucuk-cucukkan bibirku pada bibirnya, eh.. menirukan burung yang bercumbu. Sesekali tanganku meremas buah dadanya, memilin putingnya, terkadang mulutku turun ke bawah, menghisap puting buah dada Nyonya, bergantian kanan dan kiri
Akan halnya kemaluanku waktu kumasukkan ke liang kemaluannya, rasanya memasuki ruang kosong, berongga. Tetapi setelah itu rasanya ada kantong yang menyelimuti. Permukaan kantong itu bergerigi melintang, pelan-pelan kantong itu “meremas “kemaluanku. Tak ingin cepat berejakulasi maka kutarik kemaluanku, kantong kemaluan itu tidak “mengejar”nya. Kumasukkan lagi seperti tadi, terasa masuk ruang kosong, sebentar liang kemaluan mulai meremas, kutarik lagi. Begitu beberapa kali. Terkadang kemaluanku agak lama kutarik keluar, sampai tinggal “topi bajanya” yang ada di antara ‘labia mayora’-nya. Terus begini Nyonya mencubitku..
“Masukkan lagi Yang..”
Gerakkan in-out ini makin cepat, “pengejaran” kemaluan oleh sekapan kantong kemaluan juga makin cepat. Di samping itu di pintu masuk, bibir luar (labia mayora) dan bibir dalam (labia minora) juga ikut “mencegat” kemaluanku. Makin cepat aku keluar-masukkan kemaluanku, Nyonya terlihat makin menikmati, demikian juga aku sendiri. Ibarat mendaki gunung hampir tiba di puncaknya. Kecepatan kemaluanku memompa kemaluannya semakin bertambah cepat, denyut nadiku semakin bertambah, nafas juga semakin cepat. Terlihat juga wajah Nyonya semakin tegang menanti puncak orgasme, nafasnya terlihat juga semakin kencang. Cairan di liang kemaluan Nyonya juga terasa semakin banyak, ibarat oli untuk melicinkan gesekan kemaluanku. Peluhku mulai menetes, jatuh bercampur peluh Nyonya yang tercium sedap dan wangi.
Makin cepat, makin tinggi.., tiba-tiba kemaluanku terasa disekap rongga kemaluannya dengan kuat.. Kuat sekali dengan denyutan yang cepat tetapi dengan amplitudo yang rendah. Orgasme! Nyonya mencapai orgasme. Di saat itu lengan Nyonya memeluk leherku kuat sekali, sedang tungkainya memeluk pantatku dengan kencang.
“Aihh..”, terdengar desah kepuasan keluar dari bibir Nyonya.
Beberapa menit kemudian lubang kemaluanku terasa jebol, cairan menyemprot keluar entah berapa cc. Nikmat.., nikmat sekali.. Nikmat luar biasa. Orgasme Nyonya terjadi lebih dulu dari ejakulasiku. Kalau saja Nyonya masih bisa hamil, kata dokter anak yang lahir nanti adalah pria.
Saya masih tetap memeluk Nyonya sambil mengendurkan nafas. Pelan-pelan kemaluanku mulai mengendur, mengkerut. Tapi rupanya Nyonya merespons. Paha dan tungkainya diselonjorkan (diluruskan). Maksudnya memberi jalan agar kemaluanku keluar.
“Terima kasih Yang, terima kasih Mas Agus.. Mas hebat sekali..”, bisiknya.
“Kau cantik sekali Nyonya, secantik bidadari..”, balasku
Badanku kurebahkan di samping badan Nyonya, memeluk Nyonya yang tidur telentang. Kami tidur dalam keadaan telanjang, hanya ditutupi selimut.
Nikmatnya Nyonya, nikmatnya wanita, nikmatnya dunia.